BAB I
PENDAHULUAN
Sehubungan
dengan penulisan makalah ini, maka penulis akan menjelaskan secara singkat apa
yang dimaksud dengan : ‘TEOLOGI PEMBEBASAN,’ tetapi sebelumnya penulis
akan menjelaskan apa yang menjadi latar belakang dan tujuan dari penulisan
makalah ini.
A. Latar Belakang Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk menjelaskan secara singkat namun jelas tentang apa yang dimaksud dengan teologi
pembebasan. Banyak Orang Percaya yang tidak mengenal bahkan mengatahui apa yang
dimaksud dengan teologi pembebasan. Bahkan tampa disadari oleh para pemimpin
gereja dan jemaatnya, mereka telah masuk di dalam sebuah pengajaran yang
sepertinya sesuai dengan firman Allah. Karena itu disini penulis akan
menjelaskan dengan padat tentang teologi pembebasan tersebut.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bukanlah hanya
semata-mata untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan
dalam mata kuliah ini. Tetapi yang terlebih penting dan utama adalah bagaimana
membuka wawasan serta memberikan kejelasan kepada para pembaca untuk dapat
memahami dengan baik apa yang dimaksud dengan teologi
pembebasan itu. Sehingga
gereja
masa kini yang tetap berpegang teguh terhadap kuasa firman Allah, tidak akan
mudah terpengaruh dengan sebuah ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab.
BAB
II
TEOLOGI
PEMBEBASAN
A. Sejarah
Teologi Pembebasan
Sebagian besar isi Alkitab ditulis untuk menanggapi kondisi jemaat-jemaat
asuhan para penulis Kitab. Allah berkarya melalui mereka di tengah zaman dan
segala keberadaan zaman dimana mereka berada. Penulis Kitab dipakai Allah untuk
menyatakan maksud-Nya untuk menjadi jawaban akan permasalahan yang sedang
dihadapi penerima Kitab tersebut. Hal inilah yang sering disebut dengan konteks
(penulisan dan sejarah) di dalam penggalian Alkitab.
1. Defenisi
Teologi Pembebasan
Teologi
pembebasan merupakan kata majemuk dari kata teologi dan pembebasan. Secara
etimologi telogi berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos
yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan
merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi dari istilah pembangunan yang
kemudian menjadi ideology pengembangan ekonomi yang cenderung liberal
Teologi
pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah
konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Michael Lowy yang dimaksud
dengan teologi pembebasan adalah
Pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan
nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini adalah
pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul
pada awal tahun 1960-an, memang sudah ada sebelum penulisan teologi itu
sendiri.”[1]
Sedangkan menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud
dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan
penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak
kepada hak orang miskin”.[2]
Kehadiran teologi pembebasan pada awalnya adalah
untuk mengkritisi model pembangunan yang dilakukan oleh Negara terhadap
rakyatnya. Pembangunan
yang dilakukan oleh Negara yang didukung oleh intuisi yang kuat, sepert militer
dan intuisi agama yang semata-mata melegitimasi kepentingan Negara. Sedangkan
menurut salah satu situs internet http://teologipembebasan.com bahwa yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah :
Teologi Pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai
upaya-upaya untuk merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai pembebasan ke
dalam praksis, yang tentunya hal ini berlaku di tengah-tengah kondisi dan
situasi kemiskinan dan penderitaan rakyat.[3]
Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang
muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga yang lain sekaligus merupakan
suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya
mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, dimana
Allah juga hadir di dalamnya
2. Latar
belakang Teologi Pembebasan
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul
dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi
begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi
Pembebasan. Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome
de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi
korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan
mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya
sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.” Kedua, munculnya
peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan
abad ke-20, Grenz, 20th Century 211bahwa:
Seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika
Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam
gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak
menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis
sebagai titik tolak refleksi teologis.[4]
Ketiga,
dihasilkannya dokumen Gaudiumet Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang
menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang
miskin dan yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai
konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin
(1968), yang inti perumusannya berbunyi Demi panggilannya, Amerika Latin akan
melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Perintah Tuhan
yang jelas untuk menginjili orang-orang miskin harus membawa kita kepada
distribusi sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif memberikan
pilihan kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling membutuhkan. Keempat, situasi konkret di Amerika Latin, negara-negara
di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama
multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomi negara-negara
Amerika
Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang pada akhirnya
banyak
merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial.
Sejak depresi dunia pada tahun 1930-an, perekonomian
negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke
Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah
Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya
perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor
barang-barang pabrik. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar yaitu kelas buruh yang tumbuh
dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung, ketidakpuasan meluas, situasi
politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan
pemerintahan diktator, kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Begitu
juga dibidang keagamaan, kalau selama ini gereja di Amerika latin setia
berpandangan teologi Barat (Eropa), yang berkutat hanya pada memahami Tuhan dan
iman dan menghimbau agar bertahan mengahadapi penderitaan serta menghibur kaum
miskin dan orang tertindas. seperti yang ditulis di dalma sebuah situs internet
www.http:// Prasasti
Perangin-angin, S.Pd/teologi pembebasan.com bahwa:
Gereja dan dunia tidak bisa lagi
dipisahkan. Gereja harus membiarkan dirinya untuk didiami dan diinjili oleh
dunia. "Sebuah teologi Gereja di dunia harus dilengkapi dengan teologi
dunia dalam Gereja" (Gutierrez). Bergabung dalam solidaritas dengan mereka
yang tertindas melawan penindas adalah tindakan "konversi," dan
"evangelisasi" adalah mengumumkan partisipasi Allah dalam perjuangan
manusia untuk keadilan.[5]
Kemudian pihak geraja melibatkan
diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Rakyat harus disadarkan bahwa
kemiskinan dan ketebelakangan bukan nasib turunan. Rakyat harus dipintarkan,
kemudian geraja mempolopori pembebasan memalui intelektual dengan mendirikan Universitas
Javeriana di Bogota, kolumbia (1937), Universitas Katolik di Lima(1942), di Rio
de Jeneiro dan Sao Paulo (1947), Porlo Alegre (1950), Campinas dan Quito
(1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960).
Gerakannya ini justru melebar ke Dunia Ketiga
yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas
Katolik, seperti Filipina., termasuk juga Indonesia. Menurut
http://webserch.teologi
pembebasan.com seorang teolog dari Sri
Lanka yaitu Aloysius Pieris, yang mengamati perkembangan teologia di Asia
mengatakan :
Teologia Pembebasan mempunyai relevansi
bagi Asia yang tidak dipunyai oleh teologia klasik ... di gereja timur, metode
baru ini sudah bersaing dengan teologia tradisional, sebagai hasilnya
berdirilah EATWOT (The Ecumenical Association of Third World Theologians)”.[6]
Hampir
berbarengan dengan itu pada tahun 1970, James Cone, Profesor di Union Theological
Seminary menerbitkan A Black Theology of Liberation, Yaitu pemusatan kepada kelompok yang tertindas, dan adanya definisi
istilah teologia yang diartikan dalam konteks sosial politik. Pengaruhnya
segera meluas dan mendapat sambutan yang hangat oleh negara-negara dunia
ketiga. Rasa solidaritas dunia ketiga yang rata-rata merupakan korban
penjajahan, kemiskinan yang masih merajalela, sedangkan hasil kemajuan
teknologi impor hanya dapat dirasakan oleh sebagian kecil lapisan atas,
sehingga jurang antara yang kaya dan miskin semakin nampak. Perkataan seperti
pembangunan nasional, kemanusiaan, keadilan, tidak asing lagi.
3.
Pendiri Teologi Pembebasan
Teologia Pembebasan ini muncul pertama
kalinya di Amerika Latin pada tahun 60-an. Kemudian istilah tersebut menjadi
terkenal sebagai sebutan untuk aliran ini setelah terbitnya buku Teologia de la
Liberaction' karya teolog Peru, Gustavo Gutierrez. Gustavo Gutiérrez Merino, O.P. (lahir di Peru, 8 Juni 1928) adalah seorang teolog Peru yang
dianggap sebagai pendiri Teologi Pembebasan. Ia menjabat sebagai Profesor John Cardinal O'Hara
dalam bidang Teologi di Universitas Notre Dame. Ia pernah menjadi
profesor di Universitas Katolik Kepausan di
Peru dan profesor tamu di banyak universitas terkemuka di
Amerika Utara dan Eropa.
Gustavo Gutierrez
Merino, O.P adalah anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada
1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah
Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar
kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor
dari Institut Pastoral d'Etudes
Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon. Karya terobosan
Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, Salvation tahun1971(Suatu
Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”) menjelaskan
pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas
penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan
kemiskinan.
Menurut http://www.Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas.com
pembebasan sejati
menurut Gutierrez, mempunyai tiga
dimensi utama:
1.
Mencakup pembebasan politik dan sosial,
penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
2.
Pembebasan mencakup emansipasi kaum
miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari segala
sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas
dan dengan bermartabat.
3.
Teologi pembebasan mencakup pembebasan
dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan
orang-orang lain.
Konteks sosial yang terjadi
adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan penafian harkat manusia.
Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan
awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas
terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan
keagamaan mereka mempertanyakan tanggung
jawab agama itu seperti apa
4.
Perkembangan Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan berasal dari tahun 1960-an di
Amerika Utara dan Selatan, meskipun sudah ada sebelum Perang Dunia II. Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi
pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai
keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah
kongkret di sekitarnya. Seperti yang ditulis oleh salah satu situs internet
http//teologi pembebasan.com bahwa :
Seorang teolog Protestan AS Harvey
Cox menyatakan bahwa, untuk agama
mempertahankan vitalitas dalam lingkungan sekuler, refleksi teologis
harus sesuai dengan tantangan sosial dan politik konkret dari dunia sekuler
modern, masalah-masalah kontemporer seperti rasisme dan kemiskinan harus
diperlakukan sebagai masalah teologis dan juga masalah-masalah sosial”[7]
Dalam kasus kelahiran teologi pembebasan masalah kongkret
yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Teologi pembebasan
muncul dari proses panjang transformasi pasca-Pencerahan refleksi teologis
Kristen. Pada pertengahan 1970-an banyak teologi pembebasan muncul di Amerika
Utara dan Selatan, termasuk teolog Katolik (Leonardo Boff, Mary Daly, Rosemary
Radford Ruether, Juan Luis Segundo, Jon Sobrino) dan Protestan (Robert McAfee
Brown, James H. Cone) . Setelah itu, pengaruh teologi pembebasan diperluas,
terutama mempengaruhi teologis di Afrika dan Asia. Adalah fakta bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketertindasan,
ketidakadilan, dan semacamnya hingga tingkat tertentu masih merupakan realitas
keseharian yang mengikat berbagai bangsa terutama pada Negara-negara yang
berkembang. https://www.google.com/teologi menuliskan bahwa:
Pelembagaan
kekerasan menjadi sebuah fenomena serius, pengabaian terhadap kaum miskin,
institusi pengadilan yang tak pernah mendengarkan suara kelompok miskin,
hina-dina, dan anak-anak yang kurang gizi berada di mana-mana. Secara kultural
juga berkembang egoisme, individualistik, melemahnya rasa sayang, persuadaraan
dan solidaritas”[8]
Teologi pembebasan muncul pertama kali di Eropa pada abad ke-20 dan menjadi
studi yang penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan
manusia dari ancaman globalisasi dan membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia
dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki
sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan ideologi
dari perbuatan manusia sendiri.
B.
Pengajaran Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan sendiri
sebenarnya juga memiliki pengajaran yang didasarkan dengan Alkitab. Ada beberapa
bagian Alkitab yang sering dipakai oleh penganut Teologi Pembebasan sebagai
landasan pengajaran mereka yakni:
- Kisah yang tercantum dalam Kitab Keluaran, tatkala bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan.
- Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55"... Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa ...."
- Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Messias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19).
- Penghakiman terakhir yang terdapat dalam Injil Matius 25:31-46, di mana penghakiman Tuhan berdasarkan sikap seseorang terhadap orang-orang yang menderita dan miskin
Tetapi meskipun demikian
yang menjadi acuan dari pengajaran teologi pembebasan adalah pengajaran Karl
Marx. Seperti yang ditulis oleh https://www.google.com/tokoh-tokoh+teologi+pembebasan Sugendo Galilea tentang empat kecenderungan di dalam Teologi Pembebasan, yaitu: Pertama,
menekankan ayat-ayat
Alkitab tentang pembebasan dan menerapkan konsep ini ke dalam masyarakat.
Kedua, berfokus pada sejarah dan budaya Amerika Latin (khususnya pada konteks
sosial) sebagai suatu titik tolak teologi mereka. Ketiga, mengkonfrontasikan
perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen.
Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi yang ada di bawah pengaruh Marxisme[9].
Beberpa pikiran dari teologi
pembebasan yang berikut ini sama dengan rumusan Karl Marx yaitu:
Pertama, teologi pembebasan tidak ingin hanya menafsirkan
dunia, melainkan mengubah dunia.
Kedua, keadaan masyarakat dianggap sebagai perjuangan
kelas.
Ketiga, di dalam teologi pembebasan sama seperti di
dalam marxisme, bahwa kelas yang ditindas dibedakan dari kelas yang menindas.
Keempat, sama seperti marxisme bahwa teologi
pembebasan berfikir struktur-struktur masyaraka harus dirubah.
Kelima, agama harus dihancurkan demi manusia.
1.
Latar Belakang Karl Makx
Karl
Heinrich Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di rumah sewaan di Bruckengasse,
kota Trier, provinsi Rijn, negara bagian Prusia. Kedua orang tuanya berasal
dari keluarga rabi yang taat beragama, tapi ayahnya mengajak seluruh
keluarganya pindah agama Protestan sebagai jalan keluar dari politik
diskriminasi terhadap orang-orang Yahudi. Ayahnya bernama Heinrich Heschel
Marx, seorang ahli hukum keturunan Yahudi yang memeluk agama Kristen Protestan pada
tahun 1824, sedangkan ibunya, Heinritte Presburg, kelahiran Belanda.
Setelah lulus dari sekolah Gymnasium
(setaraf dengan SMU) di Trier, Marx melanjutkan studi di Universitas Bonn
(1835) mengambil studi hukum yang ternyata hanya bertahan setahun. Ia pindah ke
Berlin (1836) untuk menuntut ilmu filsafat dan sejarah. Selama masa studinya
minat terbesar Marx ternyata ilmu filsafat yang kemudian menghantarkan dirinya
sebagai filusuf dengan disertasinya berjudul
“Perbandingan antara Filsafat Alam Demokritus dan Filsafat Alam
Epicurus” pada 15 April 1841 di Universitas Jena. Konteks
Marx adalah bangunan dasar atau pondasi pokok dalam sejarah atau kehidupan
manusia, dimana agama, politik, budaya dan sebagainya dilahirkan dari ekonomi,
asumsi dasar Marx adalah ketika manusia menjauh dari ekonomi atau untuk
memperkuat kelancaran ekonomi maka manusia akan berpaling atau membentuk
struktur yang lain yang mendukunggnya. Artinya agama hanya dijadikan alat
sebagai pemenuhan hasrat ekonomi dan ketakutan manusia. Marx menafsirkan agama
sebagai candu bagi masyarakat seperti yang ditulis oleh George Ritzer dan
Douglas di dalam bukunya bahwa:
Kesukaran agama- agama pada saat yang sama merupakan ekspresi dari
kesukaran yang sebenarnya dan protes melawan kesukarann yang sebnarnya. Agama
adalah nafas lega makhluk tertindas, hatinya dunia yang tidak punya hati,
spirit kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat”[10]
Bagi Marx
agama adalah hanya sekedar imajinasi dari ketidak berdayaan manusia terhadap
struktur basis. Struktur basis adalah ekonomi yang mencangkup seluruh proses
ekonomi baik produksi, konsumsi, persaingan ekonomi, dan sebagainya. Marx
mengkritisi filsafat Hegel yang mengatakan bahwa : ‘apa yang berbudi
sungguh-sungguh ada, dan apa yang sungguh-sungguh ada adalah berbudi’[11]Roh
Absolut yang mengerakkan segala tindakan manusia dan alam semesta, kemudian
Marx membalikkannya, dengan mengatakan bahwa manusialah penggerak sejarah
sesungguhnya, Roh Absolut hanyalah hasil imajinasi dari ketidak berdayaan
manusia di dunia. Seorang penulis Eta Linnerman menuliskan bahwa ‘Marx
menafsirkan bahwa masyarakat adalah dasar sejarah dan ekonomi dipandang sebagai
dasar kehidupan masyarakat.’[12]
Agama menurut Marx hanya dijadikan sebagai alat
legitimasi penindasan, keotoriterian penguasa dan menjadi alat sebagai
pembodohan manusia. Umat Kristen oleh gereja selalu didoktrin akan keindahan
surga jika menjalankan penderitaan tersebut dengan sukarela dan tidak melawan
rezim yang sedang memimpin. Para pemuka agama memanfaatkan kedudukan yang
strategis itu justru untuk melegalkan penindasan dimasa itu. Salah satunya
adalah melarang kebebasan berpikir, jika kebebasan berfikir tersebut digunakan
sebagai alat untuk melawan penindasan pemerintah para agamawan demi
mempertahankan posisinya akan menuduh orang tersebut dengan pemberontak, kafir
atau bidah dan sebagainya. Pemikiran Marx ini banyak menginspirasi para tokoh
untuk memperjuangkan dan membela rakyat dari segala penindasan. Di Amerika
latin misalanya Gustavo Gutierrez yang merupakan pastur di Amerika latin
mencetuskan “Teologi Pembebasan” dimana agama dijadikan alat untuk membebaskan
rakyat dari para kapitalis dan kediktaktoran pemerintah.
2.
Pengajaran tentang Allah dalam Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan mengajarkan bahwa
Allah yang diberitakan di dalam Alkitab adalah Allah yang membebaskan, Dia
adalah Allah yang menhancurkan mitos-mitos dan juga Allah yang campur tangan di
dalam setipa sejarah manusia. Menurut Cochlovius ‘Dialah Allah yang membebaskan orang budak
(Kitab Keluaran), meruntuhkan penguasa-penguasa dan menegakkan orang yang
tertindas.’[13]
sedangkan menurut Jose Severino bahwa ‘ pengalaman bahwa Allah sebagai pembebas
dan pengertian kepercayaan sebagai pengakuan atas kehadirna-Nya itulah
pembentukan unsur-unsur yang menyusun teologi pembebasan.’[14]
Tetapi Allah yang diterima dan Allah yang yang dimaksudkan oleh teologi
pembebasan bukanlah Allah yang mewahyukan Diri-Nya sendiri di dalam firmna-Nya,
tetapi allah yang dimaksudkan adalah allah yang mendukung pikiran mereka. Hasil
Konferensi para Uskup menyatakan:
Allah
dilihat sebagai apa yang dapat berguna untuk mendukung pikiran mereka. Kalaupun
Dia diterima, Ia hanya sebagai ‘Allah’ buatan sendiri berdasarkan bagian
Alkitab yang dipilih. ‘Dia’ menjadi satu ilah yang mengesankan, memurnikan dan
memperdalam nilai-nilai yang tercapai dengan kuasa insani.”[15]
Allah itulah yang diterima dan juga
diajarkan oleh teologi pembebasan, meskipun mereka menggunakan Alkitab sebagai
landasan dasar dari cara berfikir. Tetapi Allah yang dipercaya bukanlah Allah
yang sungguh-sungguh ada di dalam Alkitab itu sendiri melainkan allah yang
telah disesuaikan dengan akal manusia.
3.
Pengajaran mengenai Yesus Kristus
Yesus seringkali dipandang sebagai
revolusioner, apa yang ditekankan dalam Kristologi pembebasan adalah Yesus
historis. Yesus dipahami hanyalah sebagai nabi dan tidak berarti bahwa Ia
menyampaikan kepada umat apa yang difirmankan oleh Allah. Melainkan adalah
bahwa Yesus menjalankan kritik terhadap masalah-masalah ketidak-adilan di dalam
masyrakat. Jadi Kristus yang dipahami oleh teologi pembebasan adalah Kristus
sejarah saja yang hanya mendukung pikiran revolusi secara teologi. Pendamaian
diartikan hanya sebagai pembebasan rakyat yang tertindas secara politis. Yesus
ditafsirkan sebagai pelaksana rencana Bapa dengan sasaran pendamaian,
pendamaian dengan Allah terjadi sebab Yesus membebaskan rakyat yang tertindas
dan mecela para penindas. Karena itu Eta Linnemann menuliskan ‘maka teologi
pembebasan bukanlah salah satu teologi Kristen, melainkan hanya satu pengajaran
sesat yang menyalahgunakan nama Yesus dan semua istilah dari pengajaran
Kristen.’[16]
4.
Pengajaran tentang Keselamatan
Menurut Le
Roy Teologi pembebasan mengajarkan tentang keselamatan sebagai berikut:
Keselamatan
berarti pembebasan dalam bidang politik, pembebasan dari segala macam
penindasan yakni yang didefenisikan demikian oleh mereka, yaitu sang manusia
menerima kembali kemanusiaan penuh dengan benar, istilah keselamatan diubah
bentuknya menjadi pembebasan politik.’[17]
Mereka
memandang bahwa keselamatan yang dibawa oleh Kristus adalah perbuatan keselamatan
Kristus yang terjadi melalui orang miskin. Melalui merekalah datang keselamatan
umat manusia, karena mereka yang membawa sejarah ahli waris kerajaan (Yak 2:5).
Bahkan menurut Croatto bahwa :
Bahasa
Paulus mengenai pembebasan dari dosa, hukum taurat dan maut mempunyai arti yang
melebihi apa yang dikatakan oleh Paulus dalam konteksnya. Apa yang tidak
dikatakan dalam perkataan Paulus, harus kita tambahkan sendiri ketika membaca
surat Paulus; dengan membebaskan kita juga dalam penindasan ekonomi, politik dan sosial, Kristus mengabulkan maksud Allah,
menciptakan manusia yang bebas dan kreatif, dan bukan para budak.”[18]
Berdasarkan pernyataan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa teologi pembebasan telah salah dalam menafsirkan
Alkitab. Mereka menggunakan firman Allah sebagai faktor yang mendukung situasi
yang sedang dihadapi mereka. Sehingga kebenaran yang sesungguhnya dari firman
Allah tersebut hilang yang kemudian diganti dengan pikiran manusia.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teologi pembebasan mencoba mengajarkan satu pandangan
yang mencoba mengangkat status orang-orang yang tertindas oleh berbagai problem
hidup. Masalah hidup seperti ekonomi dan yang lainnya menyebabkan rakyat jelata
menderita, yang mana penderitaan tersebut dimanfaatkan oleh segelitir orang
untuk semakin mengukuhkan kedudukannya di dalam sebuah badan organisasi
termasuk di dalam gereja. Penderitaan tersebut menyebabkan timbulnya
kesenjangan sosial, sehingga melahirkan pemberontakan, baik itu secara
kongkrit dan juga secara abstrak.
Termasuk di dalamnya adalah dunia teologi Kristen, yang oleh beberapa orang
disalah tafsirkan hanya untuk mendukung pembelaan terhadap kondisi yang sedang
dihadapi. Bagi teologi pembebasan tidak ada dunia lain selain dunia yang nampak
ini, dunia yang dijanjikan oleh Alkitab hanyalah angan-angan belaka, hanyalah
impian seperti seseorang yang sedang menghisap candu.
Sebagai orang percaya yang berpegang teguh terhadap
firman Allah, kita harus kritis dalam menyingkapi berbagai persoalan hidup,
tekhususnya adalah pengajaran-pengajaran
yang berhubungan dengan iman Kristen. Kita dituntut untuk melihat dan berfikir
mengenai segala persoalan yang terjadi secara radikal dan universal, tetapi
tetap saja semuanya itu harus bercermin kepada Alkitab sebagai dasar utama
dalam penggambilan keputusan.
B. Kritik dan Saran
Selesai sudah penulisan makalah ini, penulis
memberikan ruang bagi para pembaca untuk memberikan kritik dan saran baik
secara lisan maupun tulisan secara keseluruhan. Sehingga didalam penulisan karya
ilmiah yang akan datang kesalahan yang dialami oleh penulis tidak akan terulang
kembali dan akan menjadi lebih baik lagi. Kritik dan saran yang diberikan akan
dijadikan motivasi dan dorongan serta
menjadi tolak ukur bagi penulis didalam penulisan karya ilmiah berikutnya.
Terimakasih Tuhan Yesus memberkati.
TEOLOGI
PEMBEBASAN
Oleh
HERI
Nim : 2008.143.1
Tugas
Diserahkan Kepada :
Pdt. Dr. Marulak Passaribu., D.Min
Sebagai Bagian dari Tugas Mata Kuliah
TEOLOGI KONTEMPORER
SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA BERITA HIDUP
SURAKARTA
2013
DAFTAR
ISI
Halaman
Daftar Halaman
....................................................................................... i
Daftar Isi
.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
……………………………………….... 1
A. Latar Belakang ……………………………………...... 1
B. TujuanPenulisan …………………………………........ 1
BAB II TEOLOGI PEMBEBASAN ................................................ 2
A. Sejarah Teologi Pembebasan ……………………....... 2
1. Defenisi
Teologi Pembebasan…………………... 2
2. Latar
belakang Teologi Pembebasan .................... 3
3. Pendiri
Teologi Pembebasan ................................. 6
4. Perkembangan Teologi Pembebasan
.................... 8
B. Pengajaran Teologi Pembebasan
................................. 9
1. Latar
Belakang Karl Marx ................................... 11
2. Pengajaran tentang Allah dalam Teologi
Pembebasan 13
3.
Pengajaran mengenai Yesus Kristus
.................... 14
4. Pengajaran tentang Keselamatan
.......................... 15
BAB III PENUTUP …………………………………………………… 16 A. Kesimpulan ……………………………………………. 16
B. Kritik dan Saran ……………………………………..... 17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. iii
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Alkitab, LAI 2006
2.
Croatto,
Jose Severino, Pembebasan dan Kemerdekaan – Garis- Garis Hermeneutik, hlm. 42
3.
Carr, Burgess pada sidang Konferensi Gereja-Gereja
seluruh Afrika (AACC); dikutip oleh Le
Roy (1980). Hal 190.
4.
Grenz, 20th Century 211, Evangelical
Dictionary of Theology (ed. Walter A.
Elwell; Grand
Rapids: Baker, 1985). Hal 635.
5.
Gutierrez, Gustavo, Theologie
der Befreiung, hal. 116; dikutip oleh Cochlovius, hal 83-84.
6.
Hasil Konferensi para Uskup dari Amerika
Selatan di Medellin 1968. Hal 88.
9.
Hasil
Konferensi para Uskup dari Amerika Selatan di Medllin 1968; dikutip oleh
Cochlovius. Hlm 99.
10. http//teologipembebasan.com
12.
Lowy,
Michael, TEOLOGI PEMBEBASAN,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000). Hlm. 26
13.
Linnerman,
Eta, TEOLOGI KONTEMPORER, Ilmu atau
Praduga?, (Malang: Institut Injil Indonesia, 1991). Hlm 67.
14.
Prof.
DR. Linnemann , Eta, TEOLOGI
KONTEMPORER,ILMU ATAU PRADUGA? (Malang: Departemen Literatur Yayasan
Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1991). Hlm 181.
15.
Ritzer, George
dan Douglas, Sosiological Theory, (New York: McGraw-Hill, 2004). Hlm 74
16. www.http://
Prasasti Perangin-angin, S.Pd/teologi pembebasan.com
[1] Michael Lowy, TEOLOGI PEMBEBASAN, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2000). Hlm. 26
[2]
Prof. DR. Eta Linnemann, TEOLOGI KONTEMPORER,ILMU ATAU PRADUGA?
(Malang: Departemen Literatur Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia,
1991). Hlm 181.
[4]
Grenz,
20th Century 211, Evangelical Dictionary
of Theology (ed. Walter A.
Elwell; Grand Rapids: Baker, 1985). Hal 635.
[5]
www.http:// Prasasti Perangin-angin,
S.Pd/teologi pembebasan.com
[10] George Ritzer dan Douglas, Sosiological
Theory, (New York: McGraw-Hill, 2004). Hlm 74
[11] Eta Linnerman, TEOLOGI KONTEMPORER, Ilmu atau Praduga?,
(Malang: Institut Injil Indonesia, 1991). Hlm 67.
[12] Ibid. Hlm 67.
[13]
Gustavo Gutierrez, Theologie der Befreiung, hal. 116;
dikutip oleh Cochlovius, hal 83-84.
[14] Jose Severino Croatto, Pembebasan dan Kemerdekaan-Grais-garis
Hermeneutis, hlm. 42.
[15]
Hasil Konferensi para Uskup
dari Amerika Selatan di Medellin 1968. Hal 88.
[16]
Op.Cit. hlm 185.
[17] Burgess Carr pada sidang
Konferensi Gereja-Gereja seluruh Afrika (AACC); dikutip oleh Le Roy (1980). Hal
190.
[18]
Hasil Konferensi para Uskup
dari Amerika Selatan di Medllin 1968; dikutip oleh Cochlovius. Hlm 99.